Halaman Utama Listing Mahasiswa Listing Dosen Listing Materi
Sabtu. 04 Mei 2024 - 02:01 WIB
 
KULIAH ONLINE [BETA]
LOGIN
Username:
Password:
Dosen Mahasiswa
 
DAFTAR
Pilih tipe account, lalu klik daftar untuk melakukan pendaftaran.

 
LUPA PASSWORD
Bagi Mahasiswa dan Dosen yang lupa dengan passwordnya, silahkan untuk menggunakan fasilitas lupa password »
Jumlah Pengunjung :
66415943

Materi: Fisika Modern dan Ketidakberdayaan Manusia

Listing Materi Perkuliahan / Fisika Modern dan Ketidakberdayaan Manusia
Nama Dosen:Usep Mohamad Ishaq
Nama Kelas:TEKNIK KOMPUTER
Nama Matakuliah:ELEMENTARY PHYSICS
Fisika Modern dan Ketidakberdayaan Manusia 
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (6:103)     Pada awalnya, semua orang sudah
Isi Materi

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (6:103)

 

 

Pada awalnya, semua orang sudah memahami bahwa panca indera kita memang diliputi berbagai keterbatasan kemampuan. Telinga kita misalnya didisain hanya mampu mendengar frekuensi  gelombang 20 Hertz hingga 20 KHz. Manusia tidak mampu mendengar atau mendeteksi suara yang memiliki freuensi di luar rentang tersebut.

Demikian juga mata manusia, jika tanpa bantuan alat-alat optik, kita tidak mampu melihat dengan baik benda yang dimensinya kurang dari 1 milimeter. Dalam banyak hal kemampuan penglihatan dan pendengaran manusia bahkan justru lebih rendah dari beberapa binatang.

Akan tetapi dengan potensi akal yang Allah karuniakan, manusia mampu menciptakan alat-alat bantu sehingga keterbatasan panca indera ini seakan bukan lagi merupakan masalah besar. Alat bantu penglihatan paling mutakhir yaitu Mikroskop Elektron misalnya mampu melihat benda yang berukuran 0,2 nm (0,2 x 10-9 m), atau kira-kira 500.000 kali lebih baik dari mata manusia, melalui alat ini manusia mampu melihat makhluk-makhluk supermini seperti bakteri dan virus.

Demikian juga para ahli Astronomi kini telah mampu menyadap gelombang-gelombang suara dari bintang-bintang di luar angkasa yang jaraknya jutaan bahkan milyaran kilometer melalui teleskop radio.

Penciptaan alat-alat baru  terus berkembang semakin canggih seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga sebagian orang mengira bahwa pada dasarnya suatu saat, jika alat-alat bantu paling canggih telah berhasil diciptakan, maka kemampuan panca indera kita menjadi tidak terbatas. Benarkah demikian ?

 

Pada tahun 1927 Weiner Heisenberg seorang Fisikawan kelahiran Jerman, ditengah kegairahan dan semangat para ilmuan menyelidiki fenomena mekanika sub-atomik, ia  menemukan sebuah rumusan yang dikenal dengan “Prinsip Ketidakpastian”.   Sebuah formulasi sederhana yang membuka kesadaran kita akan batas akhir kemampuan manusia, lebih tepat lagi sebuah keterbatasan yang memang telah built-in pada alam ini. Prinsip Ketidakpastian menyatakan bahwa kita tidak mungkin mengukur dua hal secara 100 % akurat pada saat yang bersamaan (misalnya posisi dan momentum, juga energi dan waktu, dll), keterbatasan ini dibatasi oleh sebuah bilangan sebesar 1,054 x 10-34 (biasa dituliskan dengan lambang ). Secara matematis, prinsip ini dituliskan sebagai :

Ketidakpastian ini bukan disebabkan oleh keterbatasan alat ukur atau kesalahan manusia (human-error) akan tetapi memang pada dasarnya  keterbatasan pengukuran ini sudah menjadi “hukum alam” yang tidak bisa diubah. Penemuan bilangan ini (yang biasa disebut konstanta Planck) memang menjadi sebuah fenomena yang menakjubkan di lain fihak.

Contoh paling popouler dalam menggambarkan prinsip ini adalah fonomena keberadaan elektron dan wujudnya. Sampai detik ini, tidak seorangpun yang telah “melihat” elektron. Banyak orang menyangka bahwa wujud elektron yang kecil dan bulat itu memang benar-benar ada, padahal Elektron sesunguhnya hanyalah sebuah gagasan yang diakui secara ilmiah dan konsisten pada serangkaian percobaan, namun wujudnya sendiri tidak diketahui secara persis, bahkan dengan alat bantu paling canggih seperti Mikroskop Elektron sekalipun. Kesulitan “melihat” elektron pada dasarnya bukanlah karena keterbatasan alat ukur atau keterbatasan manusia, namun memang pada dasarnya alam ini telah didisain untuk menjadi terbatas.

Kita dapat “melihat” sebuah benda jika kita melakukan sebuah interaksi padanya. Melihat sebuah benda berarti sejumlah foton (cahaya) menerpa benda tersebut dan tiba pada lensa mata kita. Tanpa interaksi foton dengan benda, kita tidak mungkin dapat melihatnya.

Ketika kita harus menemukan letak elektron secara tepat dengan memancarkan sebuah gelombang cahaya (foton) maka serta-merta elektron “terpental” sehingga letaknya kemudian berpindah dari tempatnya semula, akibatnya letaknya secara pasti tidak bisa diketahui. Tapi untuk “melihat”nya kita bagaimanapun harus memancarkan foton padanya. Sebuah kenyataan yang amat dilematis

Hal ini seperti menarik selimut kependek untuk menutupi seluruh tubuh, jika kepala kita tertutupi maka akibatnya kaki  terbuka, demikian sebaliknya. Nampaknya hal seperti ini adalah telah menjadi kodrat alam semesta. Bahwa terdapat batas ketelitian dan batas ukur yang bisa diusahakan manusia bagaimanapun caranya dan nampaknya telah menjadi ketentuan Allah pula bahwasannya kita memiliki keterbatasan dalam segala hal, sehingga daya upaya apapun yang kita lakukan tetap saja kita terbentur pada sebuah hukum alam yang tidak mungkin diatasi.

Kenyataan ini seharusnya menjadikan manusia menjadi makhluk yang menyadari kelemahan dirinya, sebuah kelemahan yang mesti disikapi dengan kerendahan hati pada alam semesta ini dan sikap tunduk serta pasrah pada Maha Pencipta. Sungguh tepat firman Allah :

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. (67:4)

Dengan kalimat lain Albert Einstein mengungkapkan rasa rendah hatinya serta ketidakberdayaan dirinya sekaligus penganggungan pada Sang Pencipta :

“What I see in Nature is a magnificent structure that we can comprehend only very imperfectly. And that must fill a thinking person with a feeling of humility. This is a genuinely religious feeling that has nothing to do with mysticism”

(“Apa yang aku saksikan dalam alam ini adalah sebuah struktur yang  luar biasa yang baru kita fahami dengan amat tidak sempurna. Hal tersebut semestinya menjadikan manusia yang berakal merasa malu dan rendah hati. Ini adalah sebuah fitrah beragama yang murni dari hal-hal mistik”)

Update : 07:01:13 04/03/2005