Halaman Utama Listing Mahasiswa Listing Dosen Listing Materi
Jum'at. 29 Maret 2024 - 18:44 WIB
 
KULIAH ONLINE [BETA]
LOGIN
Username:
Password:
Dosen Mahasiswa
 
DAFTAR
Pilih tipe account, lalu klik daftar untuk melakukan pendaftaran.

 
LUPA PASSWORD
Bagi Mahasiswa dan Dosen yang lupa dengan passwordnya, silahkan untuk menggunakan fasilitas lupa password »
Jumlah Pengunjung :
65687843

Materi: Penderitaan

Nama Dosen:Dr. HM. Ali Syamsuddin Amin, Drs., SAg., MSi
Nama Kelas:ibd ak
Nama Matakuliah:ilmu budaya dasar
Penderitaan 
BAB I PENDAHULUAN             Buku yang sangat sederhana ini disusun khusus untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan ilmu budaya dasar di Univesita
Isi Materi

BAB I

PENDAHULUAN

            Buku yang sangat sederhana ini disusun khusus untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan ilmu budaya dasar di Univesitas Komputer Indonesia.

            Disajikan di dalam buku ini hal-hal yang mendasar dari sudut pandang budaya.  Dengan dilandasi oleh suatu asumsi bahwa setiap hubungan sosial dilaksanakan, faktor budaya selalu dibutuhkan, untuk mengatur proses sosial, merancang, dan mengevaluasi, kehidupan sosial (sistem sosial), sebagai proses kehidupan empiris, dan kehidupan badaya (sistem budaya) sebagai struktur yang mengandung seperangkat norma-norma untuk di terapkan dalam kehidupan sosial oleh setiap individu atau pribadi (sistem kepribadian) dalam setiap lapangan kehidupan.

 Dari asumsi itu dapat dipahami bahwa budaya tidak dapat dipisahkan didalam kehidupan sosial dan kehidupan pribadi. Tidak mungkin ada budaya tanpa kehdupan sosial dan kehidupan individu. Demikian pula kehidupan sosial tidak mungkin ada tanpa kehidupan individu, dan kehidupan individu selalu memerlukan wadah untuk untuk berinteraksi dengan individu lain. Ketika individu berinteraksi dengan individu lain dalam wadah kegiatan sosial tertentu misalnya : keluarga, lingkungan pertetanggaan, pertemanan, kelompok-kelompok sosial, atau intasi-intansi (intitusi) baik pemerintah mapun non pemerintah, atau dalam area yang lebih luas misalnya komunitas, masyarakat, bangsa (negara) sampai organisasi dunia, senantiasa memerluka pola-pola perilaku atau norma-norma yang telah diakaui bersama dari tingkat sederhana sampai kepada yang lebih kompleks. Misalnya: dari cara melakukan sesuatu atau sering disebut mode. Kemudian berkembang kepada yang lebih dalam lagi tinkat keharusannya dan mengandung sangsi yang lebih berat lagi, misalnya dari sekedah cara disebut folks ways (kebiasaan rakyat) sehingga orang yang tidak melakukannya dianggap diluar kebiasaan rakyat itu. Tentu terdapat sangsi yang lebih berat dai sekedar melakukan sesuatu perbuatan tidak sesuai dengan cara yang telah  di sepakati bersama. Untuk contoh seperti ada dalam setiap kehidupan sosial di linkungan masing-masing karena dipersilahkan mencarinya. Misalnya dara menulis, cara makan, cara berpakain yang semain lama dan semakin disepakati masyarakat pendukungnya, akan berkembang semakin meluas dan semakin kuat daya ikatnya. Ini menumbuhkah sangsi yang lebih berat lagi.

            Tahap selanjutnya setelah folk ways adalah mores (moral). Mores merupan norma sosial yang tumbuh dari kebiasan yang telah lebih kuat daya ikatnya atas dasar kesepakatan pendukungnya, sehingga merupan struktur sosial yang cenderung di pertahankan, kecuali oleh individu yang kurang bermoral. Moral terdiri dari berbagai macam, dalam perkembangan wacana ke ilmuan dikelompokkan kedalam beberapa jenis perilaku manusia diantaranya dikenal ada moral tingkah laku(moral behaviour), pertimbangan moral atau (moral jugment),  dan moral lainnya. Adapun sangsi pada tingkat iniadalah dengan cemoohan atau pemberian label atu gelaran buruk pada pelaku. Misalnya orang tidak sopan, pendusta, dalam kasus kesusilaan sering diberi label sebagai sampah masyarkat, tuna susila, hidung belang dan lain-lain.

            Mores yang lebih melembaga di suatu masyarakat dan menjadi adat istiadat setempat dikenal sebagai  cuatom, yakni seperangkat kaidah-kaidah atau asas-asas untuk mengatur ketertiban dan keadilan masyarakat. Daya ikat cuatom (adat) jauh lebih kuat dari mores, bukan hanya sebagai keharusan tetapi telah disepakati sebagai hukum adat.  Ditetapkan masyarakat pendukungnya hukuman yang dianggap tepat sebagai sangsi pelanggarnya. Adat dapat bersumber dari ajaran agama tertentu atau dari kebiasaan yang melembaga secara turun temurun. Pada tingkat ini telah ada penegak sangsi, demi ketertiban, keharmonian keberlangsungan hidup menurut adat yang mereka jungjung tinggi. Tata aturan custom memang tidak tertulis dalam sebuah kitab hukum, namun boleh dikatakan telah dicatat dalam adat yang berlaku. Penegak sangsi biasa di pegang oleh ketua adat, seperti di kampung dukuh misalnya. Pada tahun 1999 pemangku adat di dukuh dijabat oleh orang yang dituakan yang sekaligus sebagai ketua RT., dalam struktur pemerintahan desa.

            Sangsi pada hukum adat lebih keras dibanding dengan sangsi moral, dapat dipahami karena daya ikatnyapun lebih kuat. Kuatnya daya ikat karena kehidupan mereka bersifat konservatif, sehingga homoginitas mereka lebih dipertahankan.  Pada masyarakat heterogen sifat koservatif sering mengalami hambatan sehingga kebiasaan sulit dipertahankan. Untuk masyarakat heterogen tata aturan, atau kaidah-kaidah yang mengatur ketertiban, keadilan, dan kedamaian itu disebut hukum (law).

            Meskipun custom sebagai hukum adat namun tingkat keberlakuannya terbatas pada budaya setempat sebagai pendukungnya. Jika di kelompokkan custom masih berada pada tataran tata aturan atau kaidah-kaidah sosial. Untuk mengatur kehidupan pada sekala yang lebih luas yakni tingkat kehidupan suatu bangsa atau negara, aturan itu disebut hukum nasional berdasarkan undang-undang yang berlaku dinegara tersebut. Sehingga kaidah sosial itu disebut sistem hukum nasional. Jika kaidah sosial itu tidak tertulis, maka kaidah hukum ini tertulis dalam suatu kitab hukum.

Disini kita melihat adanya perbedaan antara hukum dengan kaidah sosial. Kendatipun berbeda namun tetap merupakan satu kesatuan sebagai kaidah-kaidah atau asas-asan yang mengatur kehidupan guna terciptanya kedamaian, ketertiban, dan keadilan dalam kehidupan bersama.

            Kaidah-kaidah sosial selain hukum tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk mentaatinya, sangsi-sangsi yang ada tidak cukup kuat dikenakan kepada para pelanggarnya. Hai itu disebabkan karena tidak dapat di akui secara lebih luas, juga meskipun dalam suatu daerah suka terjadi perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain, dalam artian daya ikatnya tidak merata. Pada orang lemah-orang miskin sangsi itu berlaku sedang pada orang kaya orang kuat tidak berlaku. Ketidak adilan semacam ini menuntut adanya aturan yang dapat diberlakukan kepada semua lapisan dan sampai saat ini kaidah-kaidah yang di anggap mampu itu adalah kaidah hukum yang dapat di paksakan oleh para penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Hukum memiliki kekuasaan (power) dan kekuatan (force)  yang dipaksakan oleh para penegak hukum.

            Kita sering menyaksikan orang yang mempunyai kekuatan fisik sering berkuasa, sebagian orang cenderung menganggap identik, sehingga muncul istilah “ yang kuat berkuasa”, artinya power itu adalah force. Disisi lain kita juga sering menemukan bahwa kekuasaan tidak selalu menyertai kekuatan dan sebaliknya. Bahkan kekuasaan tidak bersumber dari kekuatan fisik. Dalam hubungan antara pekerja dan majikan, sering kita saksikan orang yang fisiknya kuat, kekar dikuasai oleh orang fisiknya lemah sebagai majikan. Kekuasaan bersumber dari formal authority (wewenang formal). Atau  kita dapat katakan bahwa kekuasaan itu berumber pada hukum. Kendatipun demikian kekuasaan merupakan fenomena yang banyak ragamnya dan banyak sumbernya. Hanya inti atau hakekat kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh Kusumaatmadja, dalam berbagai bentuk adalah tetap sama, yaitu “kemampuan seseorang atau satu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain”.

            Kekuasaan, tidaklah baik dan tidak juga buruk, tetapi dapat menjadi baik atau buruk bergantung kepada siapa yang melaksanakan kekuasaan itu. Kekuasaan merupakan unsur kehidupan bermasyarakat yang mutlak harus ada dalam suatu masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur, agar kekuasaanitu dapat memberi manfaat perlu di atur dan ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya. Untuk hal tersebut dibutuhkan hukum. Sekali ditetapkan hendaknya pengaturan kekuasaan itu di pegang teguh, dengan demikian kekuasaan itu tunduk kepada hukum.

            Hukum merupakan alat untuk menegakan keadilan dalam berbagai lapangan kehidupan, karena keadilan merupakan kebutuhan hidup manusia yang banyak mereflesikan kebudayaan sebagai perjuangan mengaktulaisasikan diri. Melalui keadilan manusia berjuang mewujudkan dirinya sebagi makluk pilihan dalam menciptakan keteraturan. Dan dengan kehidupan yang teratur kedamaian, keamanan, dan keharmoniaan hidup bersama dapat di pertahanikan. Dengan keteraturan pula wawasan kedepan dapat dibangun sehingga berkesinambungan antara kehidupan dahulu, sekarang, dan akan datang. Suatu kehidupan yang naif bila tidak terdapat kesinambungan antara kehidupan dahulu, sekarang, dan akan datang. Kita hidup tidak langsung seperti apa adanya kita sekarang, dan tidak akan tetap seperti sekarang. Seiring perjalanan waktu kita menuju masa depan. Sungguh ironis kehidupan sekuler dipertahankan.

 

Setelah anda membaca bab I di atas, kini anda diminta untuk mengomentari pentingnya ilmu budaya dasar di pelajari di Perguruan Tinggi, dan manfaat apa yang dapat di harapkan dari mata kuliah ini, serta mengapa dalamkehidupan manusia tidak dapat lepas dari tatanilai, baik tata nilai budaya maupun tatanilai agama, dan jelaskan manfaat hukum bagi kehidupan manusia !.

Update : 02:13:07 13/12/2007